Yesus adalah Raja (Mazmur 97:1-12)

 


Yesus adalah Raja
Mazmur 97 : 1 - 12
Oleh: Pdt. Refamati Gulo, M.Th.

Pengantar

Selamat Hari Minggu Exaudi. Minggu Exaudi, dalam konteks agama Kristen, memiliki arti "Dengarlah aku" atau "Dengarlah seruan yang ku sampaikan". Istilah ini berasal dari bahasa Latin "Exaudi" dan diambil dari Mazmur 27:7, yang berbunyi, "Dengarlah, Tuhan, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku".

Di tengah dinamika global yang sarat dengan konflik, ketidakpastian ekonomi, krisis moral, dan ketimpangan sosial, masyarakat modern menghadapi tantangan eksistensial yang kompleks. Dalam konteks ini, kebutuhan akan kepemimpinan yang berintegritas menjadi semakin mendesak. Secara teoretis, kajian kepemimpinan dalam ilmu politik dan sosiologi menunjukkan bahwa pemimpin yang ideal bukan hanya mampu mengelola sistem, tetapi juga menjadi simbol harapan dan keadilan bagi masyarakatnya.

Teori kepemimpinan transformasional, misalnya, menekankan pentingnya pemimpin yang mampu menginspirasi, membangun visi kolektif, serta menumbuhkan rasa kepercayaan dan solidaritas di tengah ketidakpastian. Dalam kerangka etika politik, pemimpin yang adil dan dapat diandalkan dianggap sebagai representasi dari kontrak sosial antara rakyat dan kekuasaan. Oleh karena itu, dalam situasi sosial yang penuh gejolak ini, kerinduan terhadap sosok pemimpin sejati bukanlah sekadar respons emosional, melainkan manifestasi dari kebutuhan kolektif akan arah yang jelas dan nilai yang luhur.

Pemimpin yang benar adalah mereka yang hadir tidak hanya dengan kecakapan teknokratis, tetapi juga dengan kepekaan moral, keberpihakan pada kebenaran, dan kemampuan membela kepentingan publik secara berkeadilan. Dalam terang ilmu sosial, kerinduan ini mencerminkan pencarian manusia atas tatanan yang lebih bermakna, di mana kekuasaan berpadu dengan kebajikan demi terciptanya kehidupan bersama yang lebih bermartabat.

Eksposisi

Mazmur 97 merupakan mazmur pujian yang merayakan pemerintahan Allah sebagai Raja atas seluruh bumi. Pemazmur menyampaikan kemuliaan, keadilan, dan kekuasaan Tuhan atas ciptaan, bangsa-bangsa, dan para penyembah berhala. Selain itu, pemazmur mengajak seluruh alam semesta dan orang-orang benar bergembira dan menaikkan pujian syukur kepada Allah, Dialah Raja bukan hanya atas Israel, tetapi atas seluruh bumi. Sebab, Allah yang diimaninya adalah Raja Agung.


Mazmur 97:1 “TUHAN itu Raja! Biarlah bumi bersorak-sorai, biarlah banyak pulau bersukacita!”

Frasa dimulai dengan seruan yang penuh kuasa: "TUHAN itu Raja!" (ay.1), artinya bahwa Tuhan dinyatakan sebagai Raja, bukan hanya atas Israel tetapi atas seluruh bumi. Hal ini adalah sebuah deklarasi yang tidak hanya menegaskan otoritas-Nya, tetapi juga menghadirkan sukacita dan pengharapan bagi umat-Nya. Yang menekankan kedaulatan dan kekuasaan Allah atas seluruh ciptaan. Dalam konteks Alkitab, kekuasaan TUHAN adalah tema utama, yang menegaskan otoritas dan kendali-Nya yang tertinggi atas alam semesta. Ini menggemakan pernyataan dalam Mazmur 93:1 , "TUHAN memerintah, Ia berpakaian kemegahan," yang menyoroti pemerintahan Allah yang agung. Konsep kekuasaan Allah juga bersifat profetik, yang menunjuk kepada kerajaan mesianik di masa depan, di mana Kristus akan memerintah sebagai raja, seperti yang terlihat dalam Wahyu 11:15 , "Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya."

Panggilan bagi bumi untuk bersukacita mencerminkan sukacita dan perayaan yang seharusnya menyertai pengakuan akan pemerintahan Allah. Sukacita ini tidak terbatas pada Israel tetapi meluas ke seluruh ciptaan, yang menunjukkan ruang lingkup universal pemerintahan Allah. Dalam konteks budaya Israel kuno, sukacita sering diungkapkan melalui musik, tarian, dan ibadah bersama, seperti yang terlihat dalam 2 Samuel 6:14-15 ketika Daud menari di hadapan TUHAN. Sukacita bumi merupakan respons terhadap kedamaian dan keadilan yang dibawa oleh pemerintahan Allah, seperti yang dinubuatkan dalam Yesaya 35:1-2 , di mana padang gurun dan gurun digambarkan sebagai bersukacita dan berbunga.

Selain itu, panggilan untuk bersukacita “biarlah banyak pulau”, melambangkan penyertaan bangsa-bangsa non-Yahudi dan pelosok-pelosok bumi dalam rencana keselamatan Allah. Ini mencerminkan tema alkitabiah tentang perhatian Allah bagi semua bangsa, seperti yang terlihat dalam Yesaya 42:10 , "Nyanyikanlah bagi TUHAN nyanyian baru, pujilah Dia dari ujung-ujung bumi." Biarlah banyak pulau yang bersukacita juga menggambarkan Amanat Agung dalam Matius 28:19 , di mana Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya, yang menunjukkan dampak global dari Injil. Penyertaan banyak pulau ini adalah tipe dari pemerintahan universal Kristus, di mana setiap lutut akan bertelut dan setiap lidah akan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam Filipi 2:10-11.

 

Mazmur 97:2-5 - Gambaran Teofani (Penampakan Ilahi) dengan bahasa naratif

Membuka tabir tentang suasana pemerintahan Allah, Ia digambarkan disertai awan dan kekelaman, api yang melahap musuh, dan kilat yang menyilaukan dunia (ay.2–4). Bukanlah gambaran Raja biasa, tetapi Raja yang kudus, adil, dan penuh kuasa. Kehadiran-Nya dilukiskan seperti “awan dan kekelaman” (ay.2a; bnd. Kel. 19:16-20; Ul. 5:22). Seperti saat Musa naik ke Gunung Sinai dan awan menyelubungi tempat kudus, demikian pula Tuhan kini hadir dengan aura yang tak dapat dijangkau manusia. Kegelapan itu bukan tanda kejahatan, tetapi batas antara yang fana dan yang ilahi.

Kata "awan" memiliki sisi terang dan gelap. Kata "kekelaman" lebih dipahami dalam artian awan tebal dan gelap berawan. Pada dasarnya, keduanya menyimbolkan fenomena kehadiran Ilahi. Allah itu bukan hanya Mahakuasa tetapi juga adil dan benar dalam segala keputusan-Nya (ay.2b).

Namun di balik awan dan kekelaman itu, ada takhta. Dan bukan sembarang takhta. Ia berdiri kokoh bukan karena kekuatan militer atau kekayaan duniawi, tapi karena sesuatu yang jauh lebih mulia: keadilan dan hukum. Inilah dasar pemerintahan Tuhan. Ia tidak memerintah dengan sewenang-wenang. Tidak ada korupsi, tidak ada kelicikan, tidak ada tipu muslihat di hadapan-Nya. Setiap keputusan-Nya adalah benar. Setiap tindakan-Nya adalah adil. Inilah Raja yang sepenuhnya dapat dipercaya.

Lalu dari hadapan-Nya, “api menjalar (ay. 3)”, tidak terkendali, membakar habis segala yang melawan-Nya (bdk. Kel. 3:3-5; 19:16-18, 20; bdk. Im. 9:24). Kilat menyambar, bukan hanya sekadar cahaya, tapi pernyataan kuasa-Nya yang menyilaukan. Dunia menjadi terang – bukan karena matahari – tetapi karena kilatan kekudusan-Nya. Dan bumi, bumi pun tidak sanggup tetap tenang. Ia gemetar. Ia tahu siapa yang sedang hadir. Hal ini, bukan sekadar gambaran kehancuran, melainkan simbol penghakiman ilahi atas ketidakadilan dan kefasikan. Dunia tidak akan tetap diam ketika Raja sejati turun tangan. Tidak ada kuasa yang dapat berdiri tegak melawan-Nya – baik itu kerajaan, ilah, atau manusia yang congkak.

Kemudian, "kilat-Nya menerangi dunia" seperti sinar yang menembus kegelapan, menghadirkan kebenaran yang tak terbantahkan. Dunia gemetar, bukan karena ketakutan semata, tetapi karena kehadiran yang agung dan kudus yang menggetarkan setiap jiwa. Alam pun tahu siapa yang berdaulat (bdk. Hak. 6:22; 13:22; Yes. 6:5).

Dan akhirnya, gunung-gunung adalah simbol kemegahan dan keteguhan bumi, “meleleh seperti lilin di hadapan TUHAN". Segala yang tampak kuat dan tidak tergoyahkan ternyata rapuh di hadapan Yang Mahakuasa. Ini adalah gambaran bahwa tidak ada kekuatan ciptaan yang dapat bertahan bila Sang Pencipta menyatakan kemuliaan-Nya.

Dalam bagian ini, Pemazmur membawa kita ke puncak perenungan, dimana Tuhan tidak hanya Raja di surga; Ia Raja yang hadir, kudus, adil, dan penuh kuasa. Ia mengadili dengan api, menerangi dengan kilat, dan meruntuhkan keangkuhan dunia. Tapi takhta-Nya berdiri di atas keadilan dan hukum – bukan kekejaman.

Bagi umat Tuhan, ini bukan ancaman melainkan jaminan: bahwa kejahatan tidak akan selamanya menang, bahwa Allah kita adalah Raja yang benar. Dan ketika kita melihat dunia penuh kekacauan, kita diingatkan bahwa ada Takhta yang tidak tergoyahkan, yang berdiri di atas kebenaran kekal.

Mazmur 97:6-9 – Pengakuan akan Kemuliaan dan Keagungan Tuhan

Langit bersaksi artinya bahwa alam menyatakan kemuliaan Allah (Maz. 19:2). Ia tidak berbicara dengan kata-kata manusia, tetapi dengan cahaya, gerak, dan keagungan. Ia memancarkan pesan diam bahwa Tuhan itu adil, dan kemuliaan-Nya memenuhi alam semesta. Mata yang jernih akan melihat, hati yang peka akan merasakannya yaitu keadilan-Nya bukan tersembunyi, melainkan diproklamasikan dari cakrawala. Bukan hanya langit, tapi semua bangsa melihat-Nya. Mereka menyaksikan, walau mungkin tak menyadari sepenuhnya, bahwa ada sesuatu atau lebih tepatnya Seseorang yang lebih tinggi dari semua ilah dan kekuasaan yang mereka kenal. Ketika Tuhan menunjukkan diri-Nya, tidak ada ruang bagi keraguan: Dialah yang Mahatinggi di atas seluruh bumi.

Di tengah dunia yang penuh dengan patung, berhala, dan sistem yang menyembah kekuasaan, uang, dan ambisi, Tuhan berdiri sebagai Raja yang tak tertandingi. Frasa dalam ay. 7 bahwa “berhala-berhala adalah hampa” bdk. Maz. 96:5. Maka tidak heran bila mereka yang masih memegang berhala menjadi malu. Mereka yang menyembah ciptaan dan bukan Pencipta, yang mengandalkan kekuatan manusia dan bukan Tuhan, kini menunduk dalam kekalahan. Sebab, segala ilah tunduk di hadapan-Nya itu bukan karena mereka rela, tetapi karena mereka tak punya kuasa untuk menolak.

Di Sion, di kota kudus Tuhan, terdengar sorak-sorai. Yerusalem bersukacita bukan karena kemenangan militer, bukan karena kemakmuran ekonomi, tetapi karena Tuhan hadir dan membela kebenaran. Orang-orang benar melihat bagaimana Allah meninggikan nama-Nya, dan mereka bersukacita karena Raja mereka bukan hanya berkuasa, tetapi berkeadilan dan agung. Dan di puncaknya, Pemazmur mengangkat suara: “Sebab Engkau, ya TUHAN, Mahatinggi di atas seluruh bumi, Engkau sangat ditinggikan mengatasi segala allah” ay. 9.

Ini bukan hanya sekadar pengakuan iman, tetapi adalah deklarasi yang mengguncangkan seluruh tatanan dunia. Bahwa Allah Israel, bukan dewa-dewa lokal, bukan penguasa dunia, tetapi Dia adalah Raja satu-satunya yang layak Disembah, Dipuji, Dimuliakan, Ditinggikan, dan di Agungkan. Ia tidak sejajar dengan ilah lain. Ia tidak bagian dari sistem ilahi yang bisa dibandingkan. Ia adalah di atas segalanya.

Dan ketika mata kita terbuka untuk melihat kemuliaan itu yaitu dari langit yang bersaksi, dari bangsa-bangsa yang menyaksikan, dan dari kota Tuhan yang bersorak, maka kita pun dipanggil untuk bersujud dan berkata: “TUHAN itu Raja. Kemuliaan-Nya nyata. Ia tinggi dan mulia, dan aku menyembah Dia.”

Mazmur 97:10-12 - Aplikasi Etis bagi Orang Benar

Setelah menyatakan kemuliaan dan keagungan Tuhan, Pemazmur kini berbicara langsung kepada mereka yang mengenal-Nya yaitu “kepada orang-orang benar, mereka yang mengasihi Tuhan”. Di sinilah suara agung dari langit berubah menjadi bisikan yang lembut namun penuh kuasa, menyentuh hati para penyembah sejati: "Hai orang-orang yang mengasihi TUHAN, bencilah kejahatan!"

Itulah panggilan pertama yaitu panggilan untuk hidup berbeda. Mengasihi Tuhan bukan hanya tentang pujian yang dilantunkan atau doa yang dipanjatkan, melainkan kasih kepada Tuhan harus terwujud dalam kebencian terhadap kejahatan. Di dunia yang sering membingungkan batas antara benar dan salah, Tuhan memanggil umat-Nya untuk berdiri teguh, menolak apa yang jahat, meskipun itu tersembunyi, umum, atau bahkan menguntungkan. Pemazmur tidak berhenti pada perintah. Ia memberikan penghiburan dan jaminan: "Ia memelihara jiwa orang-orang yang dikasihi-Nya, Ia melepaskan mereka dari tangan orang fasik."

Tuhan bukan hanya Raja yang jauh dan berdaulat atas gunung-gunung. Ia juga Penjaga pribadi bagi setiap orang benar. Di tengah bahaya, penganiayaan, ketidakadilan, dan jebakan dunia, Tuhan menyelamatkan dan memelihara mereka yang mengasihi-Nya. Dalam kesendirian, dalam tekanan, dalam ketakutan, ada tangan ilahi yang tidak pernah lepas memegang. Kemudian, Pemazmur melukiskan sesuatu yang indah: "Terang sudah terbit bagi orang benar, dan sukacita bagi orang-orang yang tulus hati."

Terang itu seperti fajar yang perlahan mengusir malam. Itu bukan cahaya biasa, melainkan cahaya harapan dan pemulihan, khusus bagi mereka yang hidup dalam integritas. Sukacita bukan milik orang yang kuat, atau yang berhasil secara duniawi, melainkan bagi mereka yang hati dan hidupnya bersih di hadapan Tuhan. Di tengah kegelapan dunia, terang Tuhan menyinari mereka.

Akhirnya, Pemazmur mengundang kita: "Bersukacitalah karena TUHAN, hai orang-orang benar, dan nyatakanlah syukur kepada nama-Nya yang kudus!" Sukacita adalah hasil hidup dalam kebenaran. Ketika kita memilih jalan Tuhan, meskipun sulit, Tuhan memberi kita damai yang tidak bisa diberikan dunia. Dan dari sukacita itu, lahirlah ucapan syukur—bukan karena hidup selalu mudah, tetapi karena kita tahu bahwa kita hidup dalam hadirat Allah yang kudus dan setia.

Aplikasi

1.   Mengasihi Tuhan

Mengasihi Tuhan bukan sekadar perasaan hangat dalam hati atau ritual keagamaan yang rutin dijalankan. Kasih kepada Tuhan adalah komitmen hidup, sebuah ikatan jiwa yang lahir dari pengenalan akan siapa Dia sesungguhnya. Kasih itu dimulai saat seseorang menyadari betapa besar kasih Tuhan terlebih dahulu yaitu bahwa Ia telah menciptakan, menebus, dan terus menyertai kita dengan kesetiaan-Nya yang tidak pernah gagal.

Orang yang mengasihi Tuhan akan menempatkan-Nya di atas segalanya yaitu di atas ambisi, relasi, bahkan di atas dirinya sendiri. Dalam kasih itu, tidak ada ruang untuk kompromi. Ia menjadi pusat arah hidup, penentu setiap keputusan, dan satu-satunya sumber pengharapan.

Mengasihi Tuhan juga berarti rindu untuk menyenangkan hati-Nya. Bukan karena takut dihukum, tetapi karena hati yang telah disentuh kasih Allah ingin membalas-Nya dengan ketaatan. Dan dari ketaatan itu, tumbuh kedamaian, kepercayaan, dan sukacita sejati.

Seperti seorang anak yang berlari ke pelukan ayahnya, demikianlah hati orang yang mengasihi Tuhan: ia mendekat, bukan menjauh; ia menyerahkan hidupnya, bukan menyimpannya untuk diri sendiri. Kasih itu mengubah segalanya.

 

2.   Membenci Kejahatan

Di dunia yang kian relatif, di mana yang salah bisa disamarkan sebagai benar, dan yang benar dianggap kuno atau keras, suara Pemazmur terdengar tegas: “Bencilah kejahatan.” Ini bukan ajakan untuk membenci orang, melainkan panggilan untuk menolak apa pun yang menentang karakter Allah, seperti: ketidakadilan, kekerasan, dusta, keserakahan, dan semua bentuk dosa yang menghancurkan hidup.

Membenci kejahatan adalah bukti kasih sejati kepada Tuhan. Tidak mungkin seseorang mengasihi Allah yang kudus namun merangkul dosa yang mencemari. Kebencian terhadap kejahatan bukan berarti hidup penuh kemarahan, tapi berarti hidup dengan kepekaan rohani, mampu membedakan yang suci dan yang najis, dan memilih untuk berjalan dalam terang.

Orang yang membenci kejahatan tidak tinggal diam saat ketidakadilan terjadi. Ia bersuara, ia berdoa, dan bila perlu, ia bertindak, karena hatinya selaras dengan hati Tuhan. Ia tidak menertawakan dosa, tidak memeliharanya diam-diam, dan tidak bermain-main dengannya.

Namun membenci kejahatan juga berarti membenci kejahatan dalam diri sendiri—menyangkal keangkuhan, menolak hawa nafsu, dan bertobat dengan sungguh. Ini adalah perjuangan harian, namun perjuangan yang menunjukkan siapa yang benar-benar mengasihi Allah.

 

3.   Bersukacita dan Menyanyikan Syukur kepada Tuhan

Ketika hati mengenal Tuhan yaitu bukan sekadar sebagai konsep, tetapi sebagai Pribadi yang hidup dan hadir, tetapi sukacita menjadi sesuatu yang alami. Sukacita bukan tergantung pada keadaan, bukan pula hasil dari kesuksesan semata. Sukacita sejati lahir dari hubungan yang intim dengan Allah, dari keyakinan bahwa hidup ini ada dalam tangan-Nya yang penuh kasih.

Pemazmur memanggil orang-orang benar untuk bersukacita karena Tuhan, bukan karena dunia menyenangkan mereka, tetapi karena Tuhan tetap setia walau dunia berubah. Dalam sukacita itu, lahir nyanyian syukur. Ini bukan nyanyian kosong, tapi luapan hati yang tahu kepada siapa ia harus berterima kasih.

Syukur adalah pengakuan bahwa semua yang baik berasal dari Allah. Nafas, keluarga, pengampunan, kekuatan untuk bertahan, bahkan terang di tengah gelap—semua adalah karunia. Maka bibir pun terbuka bukan untuk mengeluh, tapi untuk memuji.

Di tengah pergumulan, orang benar tetap bisa menyanyikan syukur, karena mereka tahu: Tuhan tidak pernah meninggalkan. Sukacita mereka bukan ilusi, tapi hasil dari iman yang berakar dalam kasih karunia. Dan dalam nyanyian itu, dunia melihat bahwa Tuhan itu baik.

 

SELAMAT HARI MINGGU EXAUDI

TUHAN YESUS MEMBERKATI

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengasihi dan Mengikut Yesus Dengan Setia (Yohanes 21 : 15 - 19)

Nyanyikanlah Mazmur Bagi Tuhan hai Orang Benar (Mazmur 30:1-13)

Dosamu Telah Diampuni (Lukas 7:41-50)