Mengasihi dan Mengikut Yesus Dengan Setia (Yohanes 21 : 15 - 19)
Mengasihi dan Mengikut
Yesus Dengan Setia
Yohanes 21 : 15 - 19
Oleh: Pdt. Refamati Gulo, M.Th.
Pendahuluan
Minggu Misericordias Domini adalah Minggu
Paskah ke-3 yang namanya diambil dari Mazmur 33:5: “Bumi penuh dengan kasih setia Tuhan.”
Minggu ini juga dikenal sebagai Minggu Gembala yang Baik, saat umat diajak
merenungkan Yesus sebagai Gembala yang penuh kasih dan pengorbanan. Ini menjadi
momen untuk menyadari bahwa kasih Tuhan yang setia tetap bekerja dan menyertai
umat-Nya, bahkan setelah kebangkitan Kristus.
Mengasihi dan mengikut Yesus dengan setia
adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Kasih menjadi dasar dari kesetiaan, dan
kesetiaan menjadi bukti dari kasih kita kepada Tuhan. Kasih adalah perasaan
sayang atau cinta yang mendalam kepada seseorang. Sementara itu, mengasihi
berarti menaruh kasih kepada, mencintai, dan menyayangi seseorang dengan tulus.
Dalam ajaran Kristiani, kasih bukan hanya sekadar perasaan, tetapi merupakan
perintah yang berasal dari Allah. Alkitab menegaskan, “Dan inilah kasih itu,
yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-Nya” (2 Yohanes 1:6a).
Mengasihi dalam pengertian Kristiani adalah
tindakan aktif yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kasih bukan hanya
diungkapkan lewat perkataan, melainkan juga harus diwujudkan dalam tindakan
nyata. Seperti yang tertulis dalam 1 Yohanes 3:18, “Anak-anakku, marilah
kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan
perbuatan dan dalam kebenaran.” Kasih sejati memerlukan integritas dan
konsistensi antara ucapan dan tindakan.
Kasih juga merupakan sebuah pilihan sadar,
bukan hanya respons emosional. Dalam 1 Korintus 14:1 tertulis, “Kejarlah
kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama
karunia untuk bernubuat.” Kasih adalah sesuatu yang harus diupayakan dan
dikejar secara aktif, bukan sekadar ditunggu datangnya. Sama seperti Tuhan
memilih untuk mengasihi manusia secara sukarela, sehingga kita dipanggil untuk
memilih mengasihi sesama, bahkan ketika itu tidak mudah.
Mengikut Yesus dengan setia berarti menjadikan
kasih sebagai dasar dari segala sikap dan tindakan kita. Kesetiaan kepada Yesus
tidak cukup hanya dengan pengakuan iman, tetapi harus diwujudkan melalui hidup
yang mencerminkan kasih Tuhan. Mengasihi sesama, menaati firman-Nya, melayani
dengan rendah hati, dan hidup dalam kebenaran adalah bagian dari komitmen untuk
setia mengikuti Yesus. Dalam kasih, kita menemukan kekuatan untuk terus
berjalan di jalan-Nya, meski menghadapi tantangan.
Dalam Injil
Yohanes disebutkan, “God
is love ...
If we love
one another, God
lives in us,
and his love
is perfected in us” (1
Yoh 4: 8-12). Selanjutnya, Yesus
juga mengatakan, “Jikalau seorang datang kepadamu dan ia
tidak membawa ajaran ini, janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan
janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya,
ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat.” (2 Yoh: 10-11). Yesus
mengatakan bahwa Yesus sendiri adalah kasih.
Siapapun yang mengasihi
sesamanya, maka Yesus
akan tinggal dan berdiam dalam
diri seseorang tersebut,
namun akan sebaliknya
jika siapapun mereka
tidak taat pada perintah
dan ajaran-Nya.
Demikian juga dikatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Barangsiapa
percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat
kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di
atasnya.” (Yoh 3:
16, 36). Dalam hal ini
disebutkan tentang kasih
Allah yang begitu
besar kepada manusia.
Allah mengajarkan bahwa dalam
mengasihi atau mencintai
selalu ada sebuah
pengorbanan sebagai wujud
pemberian diri kepada
yang dikasihi. Sekaligus, siapapun yang percaya, maka mereka
akan memperoleh kehidupan kekal.
Berdasarkan berbagai pengertian kasih yang
terdapat dalam Injil Yohanes, dalam Yohanes 21:15–19 menguraikan makna dan tuntutan
kasih. Pada bagian ini, Yesus mengajukan pertanyaan kepada Petrus sebanyak tiga
kali, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada
mereka ini?” Pertanyaan yang berulang tersebut bukan hanya membuat Petrus
merasa tidak nyaman, tetapi juga mengandung makna yang mendalam mengenai kasih
dan komitmen dalam mengikut Yesus.
Ada beberapa struktur teks yang digunakan penulis sebagai rujukan dalam mendefinisikan kasih dan mengasihi dalam Injil Yohanes, antara lain: (15a) Pengantar, (15b) Pertanyaan Yesus dan jawaban Petrus, diikuti dengan tuntutan, (16-17) Ulangan dari pertanyaan dan jawaban yang sama, diikuti dengan tuntutan yang sama, diulangi sampai tiga kali, (18) Penjelasan tuntutan dengan menunjuk (referensi) keadaan Petrus ketika muda dan ketika tua. Keadaan Petrus yang demikian adalah keadaan manusia pada umumnya, serta (19) Tafsiran referensi, diikuti dengan sebuah kesimpulan.
Analisis Teks
Ayat 15a: Sesudah sarapan
Ungkapan "sesudah sarapan" menurut para
ahli waktu sesudah
sarapan bukan indikasi
waktu yang sesungguhnya (tidak sekadar mencatat waktu
kronologis). Momen ini lebih bersifat simbolis atau fungsional (melainkan
memiliki makna simbolis dan fungsional (fisial). Para ahli biblika menyatakan
bahwa ini bukanlah penanda waktu yang presisi secara historis, melainkan
semacam transisi naratif atau alat penghubung yang digunakan penginjil
Yohanes untuk mengarahkan perhatian pembaca pada peristiwa penting yang
akan terjadi selanjutnya: dialog pemulihan antara Yesus dan Petrus.
Secara simbolis, momen sarapan bersama
mencerminkan persekutuan dan pemulihan relasi antara Yesus dengan para murid,
khususnya Petrus yang sebelumnya telah menyangkal Dia sebanyak tiga kali.
Dengan menyantap makanan bersama, Yesus menunjukkan penerimaan dan kasih-Nya,
menciptakan suasana yang intim dan penuh kasih sebelum menyampaikan pertanyaan
yang bersifat pribadi dan penuh beban spiritual.
Secara fungsional (fisial), frasa/kata ini
menjadi alat literer untuk menghubungkan dua bagian dalam narasi yaitu Yohanes 21:12–13 – peristiwa Yesus menyediakan
makanan dan makan bersama murid-murid-Nya di tepi danau. Sedangkan Yohanes 21:15–17 – percakapan penting antara Yesus
dan Petrus mengenai kasih dan panggilan untuk menggembalakan domba-domba-Nya.
Jadi, ungkapan ini (sesudah saparan) tidak boleh dibaca hanya sebagai catatan waktu biasa, melainkan sebagai tanda bahwa peristiwa yang akan terjadi (dialog Yesus dan Petrus) memiliki bobot teologis dan emosional yang sangat penting. Dalam konteks Injil Yohanes yang sangat simbolik, makan bersama sering kali menunjuk pada pemulihan relasi, penyatuan, dan pembaruan panggilan.
Ayat 15b–17: Apakah engkau mengasihi Aku... Engkau tahu bahwa aku
mengasihi Engkau... Gembalakanlah domba-domba-Ku
Dalam teks Yunani, terdapat dua kata kerja
yang digunakan untuk "mengasihi",
yaitu agapan (ἀγαπᾶν) yang berarti kasih dalam makna universal dan
ilahi, serta philein (φιλεῖν) yang
berarti kasih dalam konteks persahabatan atau keakraban. Dalam
percakapan antara Yesus dan Petrus di ayat 15–17, terdapat variasi penggunaan
kedua istilah yaitu agapan dan philein. Beberapa komentator awal, seperti John
Chrysostom dan Cyril dari Alexandria, serta tokoh-tokoh masa
Reformasi seperti Erasmus, belum membedakan secara signifikan makna dari
kedua kosakata tersebut. Bahkan, sejumlah ahli modern seperti Raymond E.
Brown berpendapat bahwa variasi penggunaan kata agapan dan philein
dalam perikop ini tidak memberikan perbedaan makna yang substantif dan tidak
terlalu berguna dalam memahami pesan utama teks.
Menurut analisis Raymond Brown terhadap
dialog ini, struktur pertanyaan dan jawaban dalam Yohanes 21:15–17 adalah
sebagai berikut:
Ayat 15 : Agapas me? (Apakah engkau mengasihi
Aku?) – Philo se. (Aku mengasihi Engkau.)
Ayat 16 : Agapas me? – Philo se.
Ayat 17 : Agapas me? – Philo se.
Perubahan
dari agapan ke philein pada pertanyaan ketiga mungkin
mencerminkan pendekatan Yesus yang lebih dekat secara emosional, namun Brown
menekankan bahwa fokus utama tetap pada pemulihan dan pengutusan Petrus, bukan
pada perbedaan terminologis semata.
Dari analisis di atas, muncul pertanyaan penting:
apakah Yesus sedang menanyakan bentuk kasih yang lebih agung (agapan)
dari Petrus, sementara Petrus menjawab dengan bentuk kasih yang lebih
bersifat persahabatan (philein)? Atau, apakah Yesus sedang menuntut kasih
yang bersifat ilahi dan penuh komitmen (agapan), namun Petrus hanya mampu
mengekspresikan afeksi personal yang lebih emosional dan akrab (philein)?
Atau justru sebaliknya?.
Persoalan ini telah menjadi perdebatan di
antara para penafsir. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa dalam konteks
Yohanes 21:15–17, tidak terdapat perbedaan makna yang signifikan antara kata agapan
dan philein. Jawaban "Ya" dari Petrus terhadap pertanyaan
Yesus mencerminkan kesediaannya untuk mengasihi, sekalipun ia menggunakan
bentuk kata kerja philein. Hal ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa Petrus
menyadari atau bermaksud menjawab dengan bentuk kasih yang lebih rendah
daripada yang diminta oleh Yesus.
Dengan demikian, penggunaan variasi kata
tersebut kemungkinan besar bersifat gaya penulisan dalam narasi Yohanes, bukan
dimaksudkan untuk membedakan tingkatan kasih secara teologis. Inti dari perikop
ini bukan terletak pada perbedaan kata, tetapi pada pemulihan relasi antara Yesus dan Petrus, serta penegasan kembali panggilan Petrus untuk menggembalakan umat Tuhan.
Gagasan serupa dalam pandangan Gilbert L.
Bartholomew, yang merujuk pada Yohanes 14:23 dan 16:27. Dalam bagian-bagian
tersebut, Yesus menyampaikan kepada para murid-Nya bahwa apabila seseorang
mengasihi-Nya, maka Bapa juga akan mengasihi orang tersebut. Menariknya, dalam
konteks ini, digunakan dua kata kerja yang berbeda: agapaō dan phileō.
Sementara dalam Yohanes 15:13, Yesus menyatakan bahwa tidak ada kasih yang
lebih besar (agapē) daripada kasih seorang yang rela memberikan nyawanya
untuk sahabat-sahabatnya (philon). Hal ini menggambarkan bahwa kasih
ilahi (agapē) dan kasih persahabatan (philia) tidak selalu
dipertentangkan, melainkan dapat berjalan beriringan sebagai wujud kasih yang
sejati dan konkret.
Dalam Yohanes 21:15–19, Petrus secara tidak
langsung ditantang untuk menunjukkan kasihnya dengan kesiapan untuk menyerahkan
nyawanya bagi Yesus. Ini merupakan sebuah janji yang sebelumnya pernah ia
ucapkan (pada saat panggilan pertama). Bartholomew mencatat bahwa kasih
yang dituntut dari Petrus bukan hanya kasih dalam
kata-kata, tetapi kasih yang dibuktikan dengan totalitas hidup.
Menurut Raymond E. Brown, banyak ahli setuju
bahwa tiga kali pertanyaan Yesus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” dan tiga kali
jawaban Petrus, “Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau,” merupakan simbol dari
pemulihan Petrus atas tiga kali penyangkalannya
terhadap Yesus. Melalui pengulangan ini, Petrus memperbarui komitmennya
sebagai murid, dan menunjukkan pertobatan serta kesiapan untuk kembali
mengemban tugas kerasulannya.
Gagasan serupa juga dikemukakan oleh Sjef
van Tilborg. Ia menghubungkan perikop ini dengan Yohanes 13:36–38, di mana
Petrus pernah menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan nyawanya bagi Yesus,
namun kemudian Yesus menubuatkan bahwa Petrus akan menyangkal-Nya tiga kali.
Dalam Yohanes 21, setelah Petrus menyatakan kasihnya sebanyak tiga kali, Yesus
menegaskan tugasnya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Perintah ini bukan sekadar
sebuah pernyataan, melainkan sebuah penugasan yang
mengandung tuntutan serius—yaitu kesediaan untuk mengasihi dengan
cara menyerahkan hidup demi orang-orang yang dipercayakan kepadanya.
Lebih lanjut, Raymond E. Brown
menyatakan bahwa menggembalakan domba-domba merupakan tuntutan konkret dari
kasih. Yesus menugaskan Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya sebagai
bentuk nyata dari kasih yang Petrus nyatakan kepada-Nya. Bagi Yesus, kasih sejati tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus
diwujudkan melalui tindakan pelayanan yang nyata—dalam hal ini,
menggembalakan umat Tuhan.
Menurut para ahli, alasan Yesus pertama-tama
menanyakan kasih dari Petrus adalah karena tugas penggembalaan hanya dapat
dilaksanakan dengan dasar kasih yang tulus terhadap domba-domba. Jika
Petrus benar-benar mengasihi Yesus, maka ia akan bersedia mempersembahkan
hidupnya dalam tugas tersebut. Dengan kasih itu pula, Yesus dapat mempercayakan
kawanan domba-Nya kepada Petrus, dengan syarat bahwa Petrus bersedia menaati
kehendak-Nya dan meneladani cara Yesus dalam melayani sebagai Gembala Agung.
Namun demikian, penekanan utama dalam teks
bukan hanya pada tugas "menggembalakan" itu sendiri, melainkan
pada kualitas kasih dan dedikasi yang harus menyertainya. Petrus tidak
diposisikan sebagai pemimpin yang superior atau berkuasa atas domba-dombanya,
tetapi sebagai gembala yang akrab, penuh perhatian, dan siap mengorbankan
dirinya bagi mereka. Dengan kata lain, perintah Yesus kepada Petrus adalah
panggilan untuk melayani dengan kasih yang penuh pengorbanan—kasih yang
bersumber dari relasi pribadi dengan Yesus dan diungkapkan melalui kesetiaan
terhadap mereka yang dipercayakan kepadanya.
Dengan demikian, pelaksanaan tugas
penggembalaan yang ditugaskan kepada Petrus bukan semata-mata tanggung jawab
institusional, melainkan panggilan hidup yang hanya dapat dijalankan melalui
kasih dan dedikasi yang sejati kepada Kristus dan umat-Nya.
Yesus mengenal Petrus dengan sangat baik.
Petrus dikenal sebagai pribadi yang impulsif dan terkadang penuh percaya diri.
Ia pernah menyatakan bahwa ia mengasihi Yesus lebih dari siapa pun, bahkan
bersedia menyerahkan nyawanya bagi Yesus (lih. Yoh. 13:37). Namun kenyataannya,
ia justru menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Meskipun demikian, Yesus tidak
membuang Petrus. Sebaliknya, Ia membaharui dan memulihkan Petrus.
Perintah untuk menggembalakan domba-domba,
yang diberikan dalam konteks pemulihan itu, menunjukkan bahwa Yesus
mempercayakan tugas ini bukan karena kelayakan Petrus, melainkan karena
kesediaannya untuk bertobat dan mempersembahkan diri sepenuhnya. Dedikasi
Petrus kepada kawanan domba menjadi alasan Yesus menyerahkan tanggung jawab
besar itu kepadanya. Di sini tampak dengan jelas bahwa karya Allah sering kali
dinyatakan justru melalui kerapuhan manusia, dan bahwa kesetiaan lebih penting
daripada kesempurnaan.
Pada ayat 17, diceritakan bahwa Petrus menjadi
sedih ketika Yesus untuk ketiga kalinya bertanya, “Apakah engkau mengasihi
Aku?” Kesedihan ini tidak hanya mencerminkan penyesalan pribadi Petrus atas
masa lalunya, tetapi juga mengungkapkan kedalaman hubungan antara Yesus dan
Petrus. Pertanyaan Yesus dapat dipahami sebagai ungkapan kesedihan-Nya sendiri,
seperti yang dinyatakan sebelumnya dalam Yohanes 16:31–32: “Lihat, saatnya
datang... kamu akan tercerai-berai... dan kamu akan meninggalkan Aku seorang
diri.” Ucapan ini merupakan nubuat, sebuah ungkapan kenabian tentang kondisi
murid-murid-Nya, terutama Petrus.
Yesus merindukan kasih yang sejati dari Petrus,
bukan hanya dalam kata-kata, melainkan dalam kesetiaan dan pengorbanan hidup.
Petrus akhirnya mengerti makna terdalam dari pertanyaan Yesus. Ia memahami
bahwa kasih kepada Sang Guru harus diwujudkan melalui pelayanan tanpa syarat
kepada sesama dan kesiapan untuk menanggung risiko demi Kristus dan umat-Nya.
Pemahaman ini sangat penting karena bimbingan
dan permintaan Yesus kepada Petrus berakar pada relasi yang mendalam antara
guru dan murid. Melalui pengalaman kegagalan dan pemulihan, Petrus kini memahami
dengan lebih dalam makna dan tuntutan kasih kepada Yesus dibandingkan
sebelumnya. Oleh karena itu, ia bersedia menyerahkan dirinya untuk
menggembalakan kawanan domba yang dipercayakan kepadanya.
Menurut Raymond E. Brown, kematian Petrus sebagai martir menjadi bukti paling nyata dari ketulusan kasihnya—sebagai jawaban terhadap tiga kali pertanyaan Yesus dan pernyataan kasih yang menyertainya. Petrus telah menunjukkan bahwa ia benar-benar menghayati sabda Yesus dalam Yohanes 15:13: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Ayat 18-19: Penutup
S. van Tilborg menyatakan bahwa ayat 18–19 merupakan bagian
penutup dari perikop ini. Penulis Injil berbicara dari perspektif post
factum, yaitu setelah peristiwa kematian Petrus terjadi. Ia mengetahui
bahwa akhir hidup Petrus akan menyerupai kematian Yesus, sebagaimana telah
dinubuatkan oleh Yesus sendiri. Dengan demikian, Petrus akhirnya memenuhi
undangan Yesus, “Ikutlah Aku” (Yoh. 21:19), dalam arti yang paling dalam
dan radikal.
Panggilan Yesus kepada Petrus bukan hanya
untuk menjadi murid, tetapi juga untuk menjadi gembala yang baik (Good
Shepherd). Perintah “Ikutlah Aku” tidak hanya berbicara tentang
kesetiaan pribadi, tetapi juga identik dengan panggilan untuk melaksanakan misi
penggembalaan (shepherding mission). Dalam misi ini, Petrus dipanggil
untuk melanjutkan karya kasih (the work of love) yang telah dinyatakan
oleh Bapa melalui Putera.
Seorang gembala sejati, seperti yang diteladankan oleh Yesus, harus pertama-tama memiliki kasih yang mendalam kepada Yesus, bukan kepada diri sendiri. Kasih inilah yang menjadi dasar bagi kemampuannya merawat, melindungi, dan memberi makan kawanan domba. Petrus, yang telah mengalami kasih Kristus secara pribadi—kasih yang tidak bersyarat—dipanggil untuk menyalurkan kasih yang sama kepada umat Allah, dalam semangat pengorbanan dan kesetiaan.
Aplikasi
Berdasarkan analisis teks Yohanes 21:15–19
dengan tema “Mengasihi dan Mengikut Yesus dengan Setia”, berikut adalah tiga poin
aplikasi yang relevan untuk kehidupan orang percaya masa kini:
1.
Pemulihan Relasi dengan Kristus Membuka Jalan untuk
Pelayanan
Setelah sarapan bersama, Yesus memulihkan Petrus yang telah menyangkal-Nya.
Ini menunjukkan bahwa kasih dan penerimaan Kristus mendahului tugas atau
pelayanan apa pun. Aplikasi: Kita dipanggil untuk datang kepada Kristus dengan
pertobatan dan kerendahan hati, karena dari relasi yang dipulihkan itulah lahir
kekuatan untuk melayani dengan setia.
2.
Kasih yang Terbukti dalam Tindakan
Pertanyaan Yesus, “Apakah engkau mengasihi Aku?”, diikuti oleh perintah,
“Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Ini menunjukkan bahwa kasih bukan sekadar emosi
atau pengakuan verbal, tetapi ditunjukkan melalui tindakan nyata dalam
menggembalakan dan melayani sesama. Aplikasi: Mengasihi Yesus berarti rela
terlibat dalam pelayanan yang konkret, penuh tanggung jawab, dan kadang penuh
pengorbanan demi umat-Nya.
3.
Mengikut Yesus hingga Akhir
Yesus menubuatkan kematian Petrus dan mengakhiri percakapan dengan perintah, “Ikutlah Aku.” Mengikut Yesus bukan hanya soal beriman saat mudah, tetapi juga kesiapan untuk menanggung penderitaan bahkan hingga akhir. Aplikasi: Kesetiaan kepada Yesus menuntut komitmen seumur hidup, termasuk kesiapan untuk menghadapi kesulitan, pengorbanan, dan tetap teguh dalam kasih sampai akhir.
Selamat Hari Minggu Misericordias Domini
Tuhan Yesus Memberkati
Komentar