Media Sosial dan Hati yang Gelisah
Pengantar
Dalam era digital ini, media
sosial telah menjadi ruang atau wadah yang sangat akrab bagi banyak orang,
tempat di mana isi hati dengan mudah dicurahkan, baik dalam bentuk kesedihan,
kemarahan, kekecewaan, maupun kebingungan. Tidak jarang media sosial digunakan
sebagai pelarian instan ketika seseorang merasa tertekan atau tidak didengar
dalam kehidupan nyata. Seakan-akan, membagikan pergumulan secara publik
memberikan rasa lega dan menjadi sarana "pemulihan" yang cepat. Namun
sering kali, ketika orang-orang di sekitar memberikan teguran, kritik, atau
bahkan nasihat yang membangun, respons yang muncul justru adalah penolakan,
kemarahan, atau rasa tersinggung. Alih-alih merenungkan kritik tersebut, mereka
semakin larut dalam kemarahan dan kembali melampiaskannya di media sosial,
menciptakan siklus yang berulang.
Apakah fenomena ini adalah
penyakit batin yang semakin mewabah, ataukah ini adalah kebiasaan yang lahir
karena lingkungan digital yang permisif?. Penyakit atau kebiasaan,
cermin atau pangkal masalah ?.
Ini adalah penyakit hati
yaitu sebuah ekspresi dari natur dosa yang tidak mau tunduk kepada Allah dan
menolak otoritas Firman. Namun, ini juga adalah kebiasaan yang semakin
diperkuat oleh lingkungan sosial yang permisif, budaya yang mendorong kebebasan
tanpa tanggung jawab, dan pola hidup yang jauh dari disiplin rohani. Cornelius
Plantinga dalam Not the Way It's Supposed to Be, dosa bukan hanya
pelanggaran hukum, tapi juga "a vandalism of shalom"artinya sebuah
kerusakan dalam tatanan ciptaan yang seharusnya harmonis. Ketika manusia lebih
suka membenarkan dirinya di media sosial daripada tunduk pada kebenaran, mereka
merusak damai sejahtera yang Allah inginkan dalam relasi.
Media sosial, dalam hal ini, bukan akar permasalahan, melainkan cermin yang memperlihatkan kondisi hati manusia. Media sosial hanyalah medium; isinya mencerminkan apa yang sudah ada di dalam hati. Augustinus dalam Confessions mengajarkan bahwa hati manusia akan terus gelisah sampai ia beristirahat dalam Allah. Manusia yang tidak menemukan ketenangan dalam Tuhan akan mencari pelarian dalam berbagai bentuk, termasuk curhatan yang tak terarah dan pelampiasan di media sosial.
Renungan
1. Natur
Dosa dan Kondisi Hati
Teologi Reformed dengan
tegas mengajarkan tentang kejatuhan manusia dalam dosa (Total Depravity).
Hati manusia, sejak kejatuhan Adam, cenderung membelok, mencintai diri sendiri,
dan menolak otoritas Tuhan maupun sesama. John Calvin dalam Institutes of
the Christian Religion menegaskan bahwa hati manusia adalah "pabrik
berhala"
(idolum fabricam). Segala sesuatu, termasuk perhatian dan penerimaan di
media sosial, bisa menjadi berhala yang dicari untuk memuaskan kebutuhan diri. Artinya
bahwa dorongan untuk curhat dan melampiaskan diri di media sosial, serta
menolak kritik, adalah ekspresi dari hati yang memuliakan diri sendiri lebih
daripada Tuhan. Tipe seseorang seperti ini, sesungguhnya itu menyingkapkan
natur dosa yang masih berkuasa: keinginan untuk didengar tanpa mau dikoreksi. Calvin
mengingatkan bahwa dosa mengikat manusia pada dirinya sendiri dan menjauhkan
dia dari kesediaan untuk diajar dan dikoreksi. Ini bukan sekadar penyakit yang
datang tiba-tiba, melainkan akar yang dalam dari natur manusia yang telah
jatuh.
Firman Tuhan berkata, "Hati
adalah licik melebihi segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang
dapat mengetahuinya?" (Yeremia 17:9). Media sosial sering kali menjadi
cermin hati kita. Ketika kita menggunakannya untuk melampiaskan amarah tanpa
kendali, sesungguhnya kita sedang memperlihatkan kegelisahan hati yang tidak
mau tunduk kepada kebenaran.
2. Budaya
Kebiasaan dan Panggilan di Hadapan Allah (Coram Deo)
James K.A. Smith dalam bukunya You
Are What You Love menjelaskan bahwa manusia dibentuk oleh apa yang mereka
biasakan, oleh liturgi kehidupan sehari-hari. Dalam era media sosial, kita
hidup dalam liturgi digital yang membentuk hati dan respons kita. Jika kita
terbiasa menjadikan media sosial sebagai pelampiasan, ini bisa menjadi
kebiasaan jiwa, bukan hanya sebuah penyakit mendadak. Kebiasaan ini semakin
diperkuat oleh algoritma yang mendorong ekspresi diri tanpa batas, dan
menciptakan ilusi bahwa kita selalu benar, karena umpan balik yang kita terima
seringkali datang dari orang-orang yang sepemikiran. Budaya ini memperparah
kecenderungan hati manusia yang sudah berdosa, menciptakan sebuah zona nyaman
yang menolak koreksi.
Seluruh hidup kita adalah
hidup di hadapan Allah (Coram Deo). Termasuk ketika kita menulis,
berbicara, atau berinteraksi di media sosial. Tidak ada ruang netral di mana
Allah tidak hadir. Apa yang kita bagikan di media sosial bukanlah sekadar
urusan pribadi, tetapi tindakan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan
Tuhan. "Karena dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran
jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan,
kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan."
(Markus 7:21-22). Ketika kita menjadikan media sosial sebagai tempat pelampiasan
tanpa filter, kita sebenarnya sedang mengekspresikan isi hati kita yang belum
diproses dalam terang Firman Tuhan.
3. Menerima
Teguran dalam Kasih
Orang yang mengasihi Tuhan
seharusnya juga mengasihi kebenaran, termasuk ketika kebenaran itu datang dalam
bentuk teguran. Gereja yang sehat adalah komunitas yang saling menasihati dan
membangun. Jika kita tidak mau ditegur, kita menempatkan diri di luar komunitas
perjanjian dan menutup pintu pertumbuhan rohani. "Siapa mengasihi
didikan, mengasihi pengetahuan, tetapi siapa benci teguran, adalah orang bodoh."
(Amsal 12:1). Sikap menolak kritik dan marah kepada orang yang menasihati
adalah bentuk kesombongan rohani yang harus dibongkar oleh Injil.
4. Mencari
Allah, Bukan Pelampiasan
Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjadikan Allah sebagai pelarian utama kita, bukan media sosial. Mazmur penuh dengan curahan hati Daud yang sering bergumul, tetapi dia selalu berlari kepada Allah, bukan kepada dunia. "Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku." (Mazmur 62:2). Kita perlu belajar menempatkan keluhan, kesedihan, dan amarah kita dalam doa, bukan dalam status yang dapat menjadi batu sandungan bagi orang lain. Media sosial bukan tempat yang tepat untuk mencari penghiburan sejati, sebab hanya Allah sumber penghiburan dan damai yang sejati.
Komentar