Media Sosial dan Hati yang Gelisah

 


Media Sosial dan Hati yang Gelisah
Oleh: Pdt. Refamati Gulo, M.Th.

Pengantar

Dalam era digital ini, media sosial telah menjadi ruang atau wadah yang sangat akrab bagi banyak orang, tempat di mana isi hati dengan mudah dicurahkan, baik dalam bentuk kesedihan, kemarahan, kekecewaan, maupun kebingungan. Tidak jarang media sosial digunakan sebagai pelarian instan ketika seseorang merasa tertekan atau tidak didengar dalam kehidupan nyata. Seakan-akan, membagikan pergumulan secara publik memberikan rasa lega dan menjadi sarana "pemulihan" yang cepat. Namun sering kali, ketika orang-orang di sekitar memberikan teguran, kritik, atau bahkan nasihat yang membangun, respons yang muncul justru adalah penolakan, kemarahan, atau rasa tersinggung. Alih-alih merenungkan kritik tersebut, mereka semakin larut dalam kemarahan dan kembali melampiaskannya di media sosial, menciptakan siklus yang berulang.

Apakah fenomena ini adalah penyakit batin yang semakin mewabah, ataukah ini adalah kebiasaan yang lahir karena lingkungan digital yang permisif?. Penyakit atau kebiasaan, cermin atau pangkal masalah ?.

Ini adalah penyakit hati yaitu sebuah ekspresi dari natur dosa yang tidak mau tunduk kepada Allah dan menolak otoritas Firman. Namun, ini juga adalah kebiasaan yang semakin diperkuat oleh lingkungan sosial yang permisif, budaya yang mendorong kebebasan tanpa tanggung jawab, dan pola hidup yang jauh dari disiplin rohani. Cornelius Plantinga dalam Not the Way It's Supposed to Be, dosa bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga "a vandalism of shalom"artinya sebuah kerusakan dalam tatanan ciptaan yang seharusnya harmonis. Ketika manusia lebih suka membenarkan dirinya di media sosial daripada tunduk pada kebenaran, mereka merusak damai sejahtera yang Allah inginkan dalam relasi.

Media sosial, dalam hal ini, bukan akar permasalahan, melainkan cermin yang memperlihatkan kondisi hati manusia. Media sosial hanyalah medium; isinya mencerminkan apa yang sudah ada di dalam hati. Augustinus dalam Confessions mengajarkan bahwa hati manusia akan terus gelisah sampai ia beristirahat dalam Allah. Manusia yang tidak menemukan ketenangan dalam Tuhan akan mencari pelarian dalam berbagai bentuk, termasuk curhatan yang tak terarah dan pelampiasan di media sosial.

Renungan

1.   Natur Dosa dan Kondisi Hati

Teologi Reformed dengan tegas mengajarkan tentang kejatuhan manusia dalam dosa (Total Depravity). Hati manusia, sejak kejatuhan Adam, cenderung membelok, mencintai diri sendiri, dan menolak otoritas Tuhan maupun sesama. John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menegaskan bahwa hati manusia adalah "pabrik berhala" (idolum fabricam). Segala sesuatu, termasuk perhatian dan penerimaan di media sosial, bisa menjadi berhala yang dicari untuk memuaskan kebutuhan diri. Artinya bahwa dorongan untuk curhat dan melampiaskan diri di media sosial, serta menolak kritik, adalah ekspresi dari hati yang memuliakan diri sendiri lebih daripada Tuhan. Tipe seseorang seperti ini, sesungguhnya itu menyingkapkan natur dosa yang masih berkuasa: keinginan untuk didengar tanpa mau dikoreksi. Calvin mengingatkan bahwa dosa mengikat manusia pada dirinya sendiri dan menjauhkan dia dari kesediaan untuk diajar dan dikoreksi. Ini bukan sekadar penyakit yang datang tiba-tiba, melainkan akar yang dalam dari natur manusia yang telah jatuh.

Firman Tuhan berkata, "Hati adalah licik melebihi segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?" (Yeremia 17:9). Media sosial sering kali menjadi cermin hati kita. Ketika kita menggunakannya untuk melampiaskan amarah tanpa kendali, sesungguhnya kita sedang memperlihatkan kegelisahan hati yang tidak mau tunduk kepada kebenaran.

 

2.   Budaya Kebiasaan dan Panggilan di Hadapan Allah (Coram Deo)

James K.A. Smith dalam bukunya You Are What You Love menjelaskan bahwa manusia dibentuk oleh apa yang mereka biasakan, oleh liturgi kehidupan sehari-hari. Dalam era media sosial, kita hidup dalam liturgi digital yang membentuk hati dan respons kita. Jika kita terbiasa menjadikan media sosial sebagai pelampiasan, ini bisa menjadi kebiasaan jiwa, bukan hanya sebuah penyakit mendadak. Kebiasaan ini semakin diperkuat oleh algoritma yang mendorong ekspresi diri tanpa batas, dan menciptakan ilusi bahwa kita selalu benar, karena umpan balik yang kita terima seringkali datang dari orang-orang yang sepemikiran. Budaya ini memperparah kecenderungan hati manusia yang sudah berdosa, menciptakan sebuah zona nyaman yang menolak koreksi.

Seluruh hidup kita adalah hidup di hadapan Allah (Coram Deo). Termasuk ketika kita menulis, berbicara, atau berinteraksi di media sosial. Tidak ada ruang netral di mana Allah tidak hadir. Apa yang kita bagikan di media sosial bukanlah sekadar urusan pribadi, tetapi tindakan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. "Karena dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan." (Markus 7:21-22). Ketika kita menjadikan media sosial sebagai tempat pelampiasan tanpa filter, kita sebenarnya sedang mengekspresikan isi hati kita yang belum diproses dalam terang Firman Tuhan.

 

3.   Menerima Teguran dalam Kasih

Orang yang mengasihi Tuhan seharusnya juga mengasihi kebenaran, termasuk ketika kebenaran itu datang dalam bentuk teguran. Gereja yang sehat adalah komunitas yang saling menasihati dan membangun. Jika kita tidak mau ditegur, kita menempatkan diri di luar komunitas perjanjian dan menutup pintu pertumbuhan rohani. "Siapa mengasihi didikan, mengasihi pengetahuan, tetapi siapa benci teguran, adalah orang bodoh." (Amsal 12:1). Sikap menolak kritik dan marah kepada orang yang menasihati adalah bentuk kesombongan rohani yang harus dibongkar oleh Injil.

 

4.   Mencari Allah, Bukan Pelampiasan

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjadikan Allah sebagai pelarian utama kita, bukan media sosial. Mazmur penuh dengan curahan hati Daud yang sering bergumul, tetapi dia selalu berlari kepada Allah, bukan kepada dunia. "Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku." (Mazmur 62:2). Kita perlu belajar menempatkan keluhan, kesedihan, dan amarah kita dalam doa, bukan dalam status yang dapat menjadi batu sandungan bagi orang lain. Media sosial bukan tempat yang tepat untuk mencari penghiburan sejati, sebab hanya Allah sumber penghiburan dan damai yang sejati.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengasihi dan Mengikut Yesus Dengan Setia (Yohanes 21 : 15 - 19)

Nyanyikanlah Mazmur Bagi Tuhan hai Orang Benar (Mazmur 30:1-13)

Dosamu Telah Diampuni (Lukas 7:41-50)