Apa Catatan Terakhir Hidup Anda? (Bilangan 25)

 


Apa Catatan Terakhir Hidup Anda ?
Bilangan 25
Oleh: Pdt. Refamati Gulo, M.Th.

Pengantar

Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Pada akhirnya setelah kita mati, yang tertinggal hanyalah catatan tentang hidup kita. Apa yang menjadi catatan terakhir hidup kita? Apa yang kita inginkan dari orang lain saat mengenang kisah hidup kita?

Catatan Terakhir Hidup adalah mengacu pada pemahaman bahwa kehidupan terakhir seseorang terletak pada perilaku, iman, dan responsnya terhadap Allah menjelang kematian yang dapat mencerminkan kondisi rohani sejati orang tersebut. Tema ini tidak dilihat sebagai penentu keselamatan secara tersendiri, tetapi sebagai cerminan dari ketekunan orang kudus (perseverance of the saints). Jonathan Edwards menyatakan bahwa tanda sejati dari iman bukanlah pengalaman masa lalu, melainkan ketekunan dalam kekudusan dan kasih kepada Allah hingga akhir hayat. R.C. Sproul berkata bahwa “It is not those who start well who are saved, but those who finish the race”. Ketekunan bukan berarti seseorang tidak akan pernah jatuh, tetapi bahwa orang percaya sejati akan dipulihkan dan bertahan hingga akhir.

Keselamatan adalah karya Allah dari awal sampai akhir. Mereka yang sungguh-sungguh diselamatkan akan tetap bertahan dalam iman sampai akhir hidupnya, bukan karena kekuatannya sendiri, tetapi karena pemeliharaan Allah. Oleh karena itu, catatan terakhir hidup seseorang menjadi semacam “buah” atau bukti dari keselamatan yang sudah dikerjakan sebelumnya.

Renungan

Perikop ini mengisahkan peristiwa penyembahan Baal-Peor oleh umat Israel yang terjadi ketika mereka tinggal di Sitim. Dalam narasi ini, bangsa Israel digambarkan telah jatuh ke dalam penyembahan berhala setelah terlibat dalam hubungan yang tidak sah dengan perempuan-perempuan Moab. Para perempuan tersebut mengajak mereka untuk turut serta dalam ritual penyembahan kepada dewa Baal-Peor, suatu bentuk sinkretisme religius yang secara terang-terangan melanggar perjanjian mereka dengan TUHAN. Tindakan ini memicu murka ilahi dalam kadar yang sangat serius.

Sebagai tanggapan atas pelanggaran ini, Allah memerintahkan Musa agar para pemimpin bangsa yang terlibat dalam dosa tersebut dihukum mati secara terbuka, sebagai bentuk keadilan dan untuk meredakan murka-Nya yang menyala-nyala (lih. Bilangan 25:4). Tulah yang diizinkan Allah menimpa umat Israel menelan korban jiwa sebanyak 24.000 orang (ayat 9), menunjukkan intensitas penghukuman atas ketidaktaatan kolektif tersebut. Musa kemudian menginstruksikan para hakim Israel untuk mengeksekusi individu-individu yang terbukti terlibat dalam penyembahan berhala tersebut. Allah juga memerintahkan penyerangan terhadap bangsa Midian sebagai bentuk hukuman atas peran mereka dalam menggoda bangsa Israel melalui praktik penyembahan Baal-Peor.

Tragedi ini bukan hanya menyedihkan dalam konteksnya sendiri, melainkan juga memilukan karena menjadi catatan terakhir dari generasi pertama yang keluar dari Mesir. Generasi yang menyaksikan secara langsung berbagai mukjizat penyelamatan Allah justru mengakhiri sejarahnya dengan penyembahan berhala yang sangat mencemari kesetiaan kepada TUHAN. Hal ini menyoroti realitas teologis bahwa kesetiaan umat kepada Allah tidak hanya harus dijaga di awal, tetapi hingga akhir kehidupan.

Peristiwa ini menjadi peringatan penting bagi umat Allah, baik sebagai komunitas maupun sebagai individu, bahwa kehidupan dapat diakhiri dengan catatan yang memalukan dan mendukakan hati Tuhan apabila tidak dijaga dengan kewaspadaan spiritual. Oleh karena itu, setiap orang percaya hendaknya senantiasa memperhatikan kualitas kehidupan yang sedang dijalani, dengan mempertimbangkan warisan rohani seperti apa yang akan ditinggalkan.

Sebagai pengikut Kristus, identitas kita terikat erat dengan nama Allah dan Kristus sendiri. Jika kehidupan kita berakhir dengan catatan yang tercela, hal itu berpotensi mencemarkan nama Allah yang kita wakili. Sebaliknya, kehidupan yang diakhiri dengan kesetiaan akan memuliakan nama-Nya. Maka, pencapaian materi yang saat ini sering dianggap penting pada akhirnya tidak memiliki makna abadi; yang jauh lebih bermakna adalah bagaimana hidup kita dikenang di hadapan Allah.

Dalam terang ini, sangat penting bagi setiap orang percaya untuk menjaga integritas moral dan menjauhkan diri dari segala bentuk godaan yang dapat menyesatkan. Kita diajak untuk secara serius mempertimbangkan tindakan-tindakan konkret yang perlu dilakukan mulai sekarang, agar kelak catatan terakhir kehidupan kita adalah kisah yang memperkenan dan memuliakan Bapa di surga (bdk. Matius 5:16).

 

Tuhan Memberkati


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengasihi dan Mengikut Yesus Dengan Setia (Yohanes 21 : 15 - 19)

Nyanyikanlah Mazmur Bagi Tuhan hai Orang Benar (Mazmur 30:1-13)

Dosamu Telah Diampuni (Lukas 7:41-50)